It’s Not Always Rainbows & Butterflies, It’s Compromise.

Ayu
11 min readJul 11, 2022

--

Dinda Cantika bukan perempuan lemah — anak teater dengan nama yang selalu terpampang paling besar di poster, artis sinetron cilik yang selalu mencuri semua adegan dengannya di dalamnya ditambah menjadi siswi biasa di atas semua kesibukannya. From a young age, she knows she’s not weak, everyone knows she’s not weak. Tapi ketika ia bertemu Athalla Samasta, laki-laki dengan senyuman manis, talenta besar dan omongan lucu, badannya terasa sedikit lebih berat dari biasanya. She’s not a weak person but when she saw the boy for the first time, her knees instinctively buckled — as if they knew she’s met her kryptonite.

Athalla tidak perlu banyak berbicara ataupun memberi-tahu sederetan prestasinya, Dinda sudah mengenalnya jauh sebelum mereka berdua bertemu. Ia adalah seorang pianis cilik handal, selalu dibangga-banggakan oleh komposer sekelas Addie MS ataupun Erwin Gutawa, selalu ada di barisan orkestra ketika ada acara tribut ataupun pentas besar kelas nasional dan internasional — she’s admired him for a while but to have him come up to her after the show’s done to tell her that she did great? That was another level of achievement.

Setelah perkenalan singkat mereka, laki-laki seumurannya itu selalu berinisiatif untuk memberikan pernak-pernik kecil setiap Dinda akan tampil di depan umum. Setiap kali, tanpa absen, di dalam ruang gantinya satu bouquet bunga tulip akan tergeletak di atas meja dandan dengan kartu kecil bertuliskan kata-kata semangat dari anak 12 tahun yang masih awam tentang cinta tapi tahu dirinya sedang memiliki ketertarikan kepada pemain utama sandiwara itu. Athalla akan menuliskan, “Break a leg!” “You’ll do great!” “Jangan grogi, ya!” di semua kartu tersebut dengan tulisannya yang mirip dengan cakaran ayam. Dan setiap kali Dinda disambut dengan pemandangan bunga-bunga cantik di dalam ruang gantinya, ia akan merasakan kedua pipinya memerah dan hatinya merekah.

Meskipun mereka berdua awam tentang cinta — Dinda mengerti sedikit tentang kehadirannya dari semua pentas yang ia lakoni, dari sinetron-sinetron kejar tayang yang ia bintangi dan dari film-film kedua orang-tuanya yang ia selalu diajak untuk menonton dari kecil. Ia belum pernah merasakan ketertarikan seperti itu sebelumnya namun ketika suatu malam Athalla datang ke belakang panggung untuk memberikan selamat setelah Dinda baru saja menyelesaikan drama yang menyita banyak waktunya, ia mulai mendapat gambaran akan apa itu cinta.

Saat mereka berdua menginjak 13 tahun, mereka jadi lebih sering bertemu — dengan sengaja. Dinda biasanya akan menghadiri semua konser-konser Athalla, duduk di kursi belakang sambil melihat laki-laki itu memainkan piano dengan lihai, selalu menjadi penonton yang berdiri pertama saat tirai mulai diturunkan, menjadi orang pertama yang memeluknya di belakang panggung ketika pertunjukan telah usai. Dan Athalla memberikan usaha yang sama, selalu duduk di depan di drama-drama yang dibintangi Dinda, memberikan bouquet besar setelah drama tersebut usai, kadang mengajaknya makan malam terlebih dahulu untuk memuji penampilannya.

Dan setiap Dinda ada di dalam kehadiran seorang Athalla, ia membiarkan dirinya lemah. Ia membiarkan laki-laki itu membukakan pintu mobil ataupun pintu pusat perbelanjaan untuknya, ia membiarkan laki-laki itu (mencoba) untuk menggendongnya ketika mereka berdua selesai berjalan-jalan mengitari auditorium kosong sambil naik-turun tangga dan menceritakan tentang hari mereka masing-masing, ia membiarkan laki-laki itu duduk di sebelahnya dengan jari-jarinya di atas miliknya untuk mengajarinya bermain ‘Für Elise’ di piano.

Ia merasa bebas dengan Athalla — merasa ia tidak perlu menjadi anak sulung sempurna dari pasangan pemain film lokal yang juga terlihat sempurna, merasa ia tidak perlu menjadi seorang artis kecil yang harus tetap menjaga image. Untuk pertama kalinya di dalam hidupnya, ia tidak perlu bersandiwara.

Hidup memang suka lucu — ia menyadari itu ketika ia masih sangat muda — tapi selain lucu, hidup juga kejam. Ketika perempuan yang saat itu baru menginjak umur 15 tahun sudah mulai nyaman dengan menunjukkan kelemahannya dan menerima bantuan, kecelakaan itu terjadi.

Athalla Samasta, pianis cilik terkenal yang dekat dengan Erwin Gutawa, terlibat dalam kecelakaan ATV di Lembang.

Itu kepala berita yang dibaca Dinda ketika ia baru saja keluar dari ruang kelasnya untuk memeriksa jadwal shooting hari itu, dikirimkan oleh manager-nya yang tahu anak di bawah naungannya itu tidak akan melanjutkan jadwalnya saat ia tahu apa yang terjadi. And she was right — her manager would be out of her mind if she thought that Dinda would continue without checking up on Athalla first.

Setelah itu ia memasuki mobilnya, menyuruh supirnya untuk langsung menyetir ke Bandung dan bukan ke lokasi syuting hari itu dan berdoa selama perjalanan — berdoa agar Athalla baik-baik saja, berdoa agar laki-laki itu masih dapat tersenyum, berdoa agar pemulihannya lancar. 2 jam di jalan tanpa kabar hampir membuatnya gila jadi ketika sedan hitam, yang ia beli dari pemasukannya sendiri, berhenti di depan lobi rumah sakit di Jl. Dr. Djunjunan, ia langsung berlari ke ruang 352 — ruang Athalla.

When she had just entered the room, seeing the boy on his bed crying to his mom because his right hand — his source of happiness, his source of income, his everything — was wrapped in a thick cast. Dinda seringkali disuruh akting menangis tapi ia tidak pernah harus akting tegar ketika ia merasa dunianya sedang runtuh, seperti pada sore itu di Bandung. Ia tidak pernah harus memasang senyuman, menelan benjolan di dalam tenggorokannya dan menahan air matanya dari jatuh ketika yang ia rasakan hanyalah hampa, hampa, hampa — seperti seseorang telah menginjak dadanya.

Ia tidak pernah harus berjalan ke arah Athalla, masih dengan senyuman palsu itu, dan memberikannya kata-kata semangat padahal satu-satunya hal yang ingin ia lakukan adalah menaiki kasur rumah sakit itu, memeluk Athalla dan menangis bersamanya.

And just like that, she’s not allowed to be weak any longer — she had to carry Athalla’s burdens as well.

Dinda kembali mementaskan berbagai sandiwara, kembali mengikuti syuting setiap hari, kembali harus memasang senyum palsu dan akting seakan-akan semuanya baik-baik saja padahal ketika semua pekerjaannya selesai ia berinisiatif untuk mengunjungi Athalla di rumahnya — Athalla yang berubah. Athalla yang mudah murung, mudah marah, mudah merasa terganggu. Athalla yang tidak ingin makan makanan favoritnya lagi, Athalla yang tidak bisa melanjutkan passion-nya di piano, Athalla yang harus berhenti mengejar mimpi selama 2 bulan.

2 bulan memang tidak terlalu lama — tidak panjang. Tapi bagi Athalla Samasta yang sudah menekuni hal tersebut ketika dirinya bahkan belum dapat berbicara dengan fasih? Rasanya seperti hukuman seumur hidup.

Dalam kurun waktu 8 minggu itu, Dinda harus lagi-lagi menjadi kuat, menjadi pengertian, harus tidak tahu apa arti kata ‘lelah’. Ia harus ada di sisi Athalla ketika laki-laki itu sedang tidak dalam suasana hati untuk makan, ia harus ada di ruang tunggu psikolog Athalla ketika laki-laki itu sedang dalam salah satu sesi terapinya, ia harus memberikan senyuman dan kata-kata semangat untuk laki-laki itu. Dan lagi-lagi ia belajar tentang hal yang sangat kompleks pada usianya yang masih sangat muda — lagi lagi ia harus beranjak dewasa terlalu cepat.

Namun saat mereka berdua memasuki SMA dan Athalla mencari passion baru — kali ini drum — hubungan mereka jadi membaik. Laki-laki itu mulai menjadi lebih pengertian, menjadi humoris lagi dan Dinda lagi-lagi membiarkan dirinya lemah (sedikit). Jika ia harus mendeskripsikan perasaannya kepada Athalla, ia rasa semua kata di dunia ini tidak akan cukup untuk menggambarkannya. She loved him, she loves him, she will always love him.

And he loves her back — he loves her dearly.

Athalla selalu mendukung dengan caranya sendiri, selalu menunggu dirinya selesai syuting, selalu berada di barisan terdepan saat ia pentas. Ia juga mengesampingkan ketakutannya untuk tampil lagi di depan umum ketika Dinda mendapatkan peran kecil di film garapan Joko Anwar — Athalla tampil di sebelahnya, menaruh lengannya di sekitar pinggul Dinda dan menjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan dengan sopan. Pada perjalanan pulang Dinda memberikan laki-laki itu kecupan kecil di bibirnya — yang membuatnya tersipu malu.

Karena karirnya sedang melejit saat ia memasuki kelas 12, ia lebih memilih untuk mengejarnya, tidak membiarkan lampu sorotnya redup sedikitpun. Ia putus sekolah, lebih memilih untuk mengambil Ujian Nasional paket C sambil syuting beberapa film berturut-turut, jalan di karpet merah, membintangi iklan, menghias billboards di ibukota.

“Emangnya harus drop out, Din?” Adalah pertanyaan pertama yang keluar dari mulut pacarnya setelah ia memberikan informasi itu.

Dinda melihat ke arah laki-laki itu, “Aku mau fokus akting, Athalla.”

“Aku tau tapi emang harus stop sekolah? Aku cuman nanya itu aja.”

Ia tidak pernah membantahnya, itu pertama kalinya laki-laki itu terlihat tidak setuju dengan pilihannya, “I feel like it’d be a waste.”

“Karir aku maksud kamu? Karirku bakal wasteful?

“Bukan karir kamu tapi emang nggak sayang tinggal setahun lagi terus kamu keluar? Selesaiin dulu lah, Dinda.”

“Ya kamu nggak ngerti, Tha!”

Itu kesalahan pertamanya — kalimat yang keluar karena amarah yang menggebu-gebu, sebuah pengkhianatan besar, a low blow.

Athalla mendengus, matanya masih fokus dengan jalanan Bogor di depannya, “Aku nggak ngerti karena aku udah nggak punya karir lagi? Gitu maksud kamu?”

“Bukan.” Ia rasa pilihan terbaik untuk dirinya adalah untuk membuka pintu penumpang dan melemparkan diri ke jalanan yang ramai, menunggu kendaraan untuk berjalan di atas tubuhnya, “Bukan gitu maksudku, kamu tau bukan itu maksud aku.”

“Terus maksud kamu apa, Dinda?”

Dan karena ia tidak suka dengan konfrontasi, ia lebih memilih untuk diam — membiarkan argumentasi kecil itu terbawa oleh angin, menjauh dari mereka berdua.

(Ia tetap keluar dari sekolah seminggu setelahnya dan film-film yang ia bintangi lumayan sukses, namanya sudah mulai menjadi lebih terkenal dan lebih banyak tawaran yang masuk untuknya.)

Ketika ia dan Athalla mulai nyaman dengan rutinitas mereka masing-masing — pada penghujung minggu Dinda akan mengosongkan jadwal untuk mengunjungi Athalla di Depok dan kadang jika laki-laki itu sedang senggang ia akan mengikuti syuting Dinda untuk mendukungnya — The Jakarta Spacemen terbentuk. Dan sekali lagi, Dinda harus beradaptasi dengan versi Athalla yang baru.

Ia bertemu Athalla saat laki-laki itu berumur 10 tahun, duduk di kursi piano sambil memainkan Eine Kleine Nachtmusik dan saat ia berumur 18 tahun ia melihat versi Athalla yang berbeda. Kali ini laki-laki itu duduk di belakang drumset, memainkan lagu-lagu pop-punk dari band ternama seperti Fall Out Boy, All Time Low dan Paramore.

Dan saat ia berumur 20 tahun, Athalla-nya — Athalla Samasta-nya yang ia sudah belajar untuk cintai sejak umurnya baru 13 tahun — sudah bukan miliknya seorang lagi. Kali ini ia menjadi Athalla dari The Jakarta Spacemen, Athalla yang menjadi drummer terkenal, Athalla dengan jumlah penggemar yang banyak, Athalla yang tampil di Jepang dan Singapura, Athalla yang lagi-lagi hidup di bawah lampu sorot.

Kali ini, ia harus belajar untuk berbagi. She doesn’t own him anymore — he belongs to his band, his fans, his management. And although she’s happy for his success — because at the end of the day, her lips will be the only ones he plants a kiss on — she had to once again lower herself for him.

Ketika ia baru saja menerima itu semua, The Jakarta Spacemen diundang untuk tampil di Coachella dan Athalla turun di satu lutut, boks cincin berwarna biru dari Tiffany’s & Co di tangannya untuk menanyakan, “Will you marry me?”

Ia tidak pernah mengira dirinya akan menikah saat ia masih berumur 22 tahun — tapi ia juga tidak pernah mengira beberapa bulan setelah itu ia akan terbang ke California untuk menyaksikan suaminya (fuck, her husband) tampil di Coachella bersama band-nya. Banyak ketakutan di dalam dirinya saat ia mengucap sumpah pernikahan di depan teman-teman serta kerabat terdekatnya tapi semua ketakutan itu sirna ketika ia menatap mata Athalla sambil mengucap, “I do.

Because that’s what people do when they’re in love, right? They get married.

Dinda mendapatkan banyak dukungan dari penggemarnya — membaca komentar-komentar manis yang ditinggalkan di media sosialnya, membaca semua pesan yang dikirimkan oleh mereka, terenyuh dengan kebaikan yang mereka tunjukkan. Tapi itu bukan satu-satunya hal yang dia dapatkan.

Terkadang ia mendapatkan kalimat-kalimat kebencian yang tertulis di bawah fotonya, mendapatkan pesan-pesan mengolok yang dikirimkan kepadanya, membaca semuanya. Dan terkadang ia harus berpura-pura sudah tertidur lelap ketika Athalla baru pulang dari salah satu konsernya, berpura-pura bahwa dirinya tidak habis menangisi sebuah pesan dari penggemar suaminya yang memberitahunya kalau ia tidak pantas mendapatkan Athalla.

But he loves his job and she loves him, so the only thing she could do was suck it up and act like nothing’s wrong.

Thank God she’s an actress.

Right?

Meskipun dari luar pernikahannya terlihat sempurna — seorang anggota band internasional dengan aktris bertalenta yang notabene adalah cinta pertama satu sama lain — mereka lebih sering memendam perasaan tidak suka daripada harus membicarakannya karena mereka terlalu lelah untuk berargumen. Athalla bukan tipe yang suka menunjukkan kecemburuannya jadi ketika ia selesai menonton salah satu film Dinda dan ada adegan yang terlihat terlalu nyata untuknya, ia akan diam selama perjalanan pulang, tidak ingin mendiskusikannya. Dinda juga tidak lebih baik dari suaminya — ketika ada beberapa foto di luar negeri ketika Athalla terlihat terlalu nyaman dengan seorang penggemar, ia harus menutup matanya, meregulasikan pernapasannya dan memilih untuk mempercayai laki-laki itu seutuhnya.

Karena apa cinta dan komitmen jika tidak dilandasi dengan kepercayaan?

Tapi ia tahu mereka tidak dapat hidup seperti itu lagi — tidak dapat terus-terusan berakting, tidak dapat terus-terusan terlihat seperti istri yang selalu mendukung, tidak dapat terus-terusan menerima semua cacian dan makian yang dilemparkan kepadanya. Mereka tidak dapat mengesampingkan semuanya hanya agar pernikahan itu terlihat mulus dan tanpa cela. Apalagi ketika Dinda tidak kunjung datang bulan dan hal pertama yang dapat ia pikirkan adalah bagaimana ia harus mengurus seorang anak jika dirinya tidak ingin anak itu?

Jadi ia terduduk di lantai kamar mandi, berdoa agar keterlambatan itu terjadi karena ia sedang stres dan sibuk bukan karena ada sebuah nyawa yang sedang berusaha untuk bertumbuh di dalam perutnya.

Keesokan harinya, suaminya bertanya, “Din, kamu… belum dapet?”

Kali ini ia tidak dapat bersandiwara, ia tidak dapat tersenyum, ia tidak dapat mempertunjukkan keterampilan aktingnya, yang dapat ia lakukan hanyalah berlari ke dalam pelukan laki-laki itu — laki-laki yang ia cintai dari saat ia berumur 13, laki-laki dengan wangi citrus dan tahi lalat di samping bibir yang membuatnya terlihat lebih menarik. Laki-laki dengan pelukkan yang hangat dan ciuman yang dahsyat — yang ikut menangis saat ia merasakan tubuh perempuan di dalam lengannya mulai bergetar.

“Athalla, aku belum siap, aku nggak mau… aku nggak bisa.” Itu pertama kalinya ia mengatakan kalimat yang jujur seutuhnya kepada suaminya selama 6 bulan terakhir. Pertama kalinya ia memutuskan untuk membagi beban yang ia emban dengan laki-laki itu.

Dan ia dapat merasakan Athalla mengangguk, “It’s okay, mungkin kamu kecapean, nggak harus karena emang hal… itu.” Ia bahkan tidak ingin mengatakannya.

I’m sorry, I want to be strong, I want to look tough. Aku mau semua orang liat kita sempurna, mau semuanya liat aku sebagai istri tangguh yang sempurna yang bisa kerja sambil ngurusin dan ikut suami, yang nikah muda tapi masih bisa mandiri, yang nggak mikirin komentar-komentar jahat. Tapi ternyata aku nggak bisa, Tha, aku nggak sekuat itu.”

Athalla menaruh dagunya di atas kepala Dinda dan mengangguk lagi, “Kamu nggak perlu mikirin itu semua, ya. Mungkin sekarang saatnya kita benahin hubungan ini, Din.”

So he’s noticed — he’s noticed that they’re heading to destruction.

“Kamu bisa jadi diri kamu sebenernya sama aku. Bukan Dinda Cantika si artis sinetron, bukan Dinda Cantika si anak teater, bukan Dinda Cantika istrinya Athalla Samasta. Kamu bisa jadi Dinda seutuhnya. Aku minta maaf aku belom jadi suami yang sempurna, maaf aku sibuk, maaf aku gampang terdistraksi. Tapi sekarang kamu bisa cerita semuanya sama aku.”

Paragraf yang dibisikkan oleh Athalla itu membawanya kembali ke mereka yang masih muda dan ambisius, ke mereka yang tidak mementingkan karir — ke mereka yang mementingkan satu sama lain di atas segala-galanya.

Ke Athalla Samasta yang dapat meluluhkan Dinda Cantika, si bukan perempuan lemah.

Ke Athalla Samasta yang menerima si tidak-selalu-kuat Dinda Cantika.

Ke kryptonite-nya.

Ke Athalla Samasta-nya — not anyone else’s, just hers.

Jadi ia mengencangkan pelukannya dan mengangguk.

--

--

Ayu
Ayu

Written by Ayu

20 | just the ballad of me and my brain.

Responses (1)