—
Commissioned for A.
—
Contrary to popular belief, Aska didn’t grow up in a privileged family. Ia masuk ke sekolah yang biasa-biasa saja, berteman dengan orang yang biasa-biasa saja, mendapatkan nilai yang biasa-biasa saja, tidak pernah mengikuti kompetisi apapun. Ia tidak pernah bergabung ke dalam ekstrakurikuler yang akan menjamin kepopuleran seorang siswa seperti cheerleading ataupun ballet. She didn’t feel the need to stand out — she didn’t have to.
Seumur hidup ia hanya ingin terlihat biasa-biasa saja.
But it’s hard trying to keep a low profile when you kind of already stand out on your own. Apalagi dengan nama belakang yang tidak biasa, wajah yang terlihat beda dan aksen Jepang yang terkadang terlontar dengan tidak sengaja di tengah-tengah percakapan. Tanpa perlu berusaha, keberadaannya sudah cukup menarik perhatian.
Sometimes she feels like an elephant in the room — something that has to be addressed. Pertanyaan-pertanyaan dari orang-orang di sekitarnya pasti tidak jauh dari nama belakangnya yang tidak umum (Drenka), dari mana dirinya berasal, bagaimana ia bisa fasih berbahasa Indonesia dan jika ia menonton anime dengan terjemahan (ia bukan penggemar anime).
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak pernah tentang hobinya, apa yang ia gemar lakukan pada akhir pekan, apa cita-citanya ataupun sekedar bertanya tanggal ulang tahunnya. Ia rasa ia ada di dunia hanya untuk dipelajari seakan-akan ia seekor binatang yang baru saja ditemukan keberedaannya, selalu dilihat di bawah mikroskop, diteliti dengan saksama.
Rasa penasaran orang-orang terhadap dirinya dimulai dan diakhiri dengan informasi-informasi standar yang memuaskan keingintahuan mereka, tidak lebih. Tidak pernah lebih.
Maka dari itu ketika seorang representatif dari agensi ternama menghampirinya di salah satu kedai makanan cepat saji di Jakarta saat dia berumur 15 tahun, ia sedikit terkejut. Ia terbiasa hidup di background, sebagai pemeran figuran di dalam kehidupan orang-orang di sekitarnya — anak pertama yang pengertian, teman yang selalu ada, sepupu dengan aksen lucu tapi cerita-cerita yang imajinatif dan seru. Tapi karena itu pertama kalinya seseorang menanyakan pertanyaan yang tidak repetitif, ia mengiyakan tawaran pria itu.
And just like that… her life changed.
Film perdananya adalah sebuah film indie garapan seorang sutradara muda yang ambisius — lulusan sebuah sekolah perfilman di New York — tentang kehidupan seorang anak jalanan di Jakarta. Meskipun Aska hanya memiliki 2 dialog dan karakternya meninggal di awal film, sinematografi yang apik serta jalan cerita yang dipikir dengan matang memasukan namanya ke dalam radar orang-orang penting.
Nama Askami Drenka mulai dilontarkan di dalam rapat-rapat tertutup yang diadakan oleh produser-produser veteran, ditorehkan di atas kertas putih penting, di antara nama-nama pendatang baru pada saat itu seperti Dinda Cantika dan Lisa Kahuripan. Dan 6 bulan setelah film perdananya tayang, ia mendapatkan tawaran keduanya.
Kali ini Aska memainkan seorang anak pertukaran pelajar — ia tidak tahu jika ia mendapatkan peran tersebut karena bakat aktingnya atau hanya karena ia berdarah campuran, meskipun demikian, ia tetap menerima tawaran tersebut. Karena kali ini ia tidak perlu membuktikan dirinya lagi, ia sudah diakui.
Perannya jauh lebih besar, ia memiliki lebih banyak dialog, ia lebih sibuk dari sebelumnya. Ia bahkan mendapatkan ruang gantinya sendiri dan ini masih film keduanya.
Setelah film tersebut dirilis dan orang-orang datang ke bioskop untuk menonton pemeran utamanya — Kayla Nainggolan — mereka keluar dari ruangan tersebut tidak berbicara tentangnya, namun tentang sahabat karibnya yang lucu dan dramatis, Aska. Ia berhasil memenangkan hati para penonton, berhasil membuat mereka semua membicarakannya, berhasil memberi pertunjukan yang tidak ada duanya. She stole the show.
Dan dari situ, akhirnya, hidupnya benar-benar berubah.
Tawaran-tawaran menjadi pemeran utama mulai masuk ke dalam inbox milik agennya. Film horor, film romantis, film kekeluargaan — you name it, she’s their first choice. Her publicist told her to choose the ones she wanted the most and to be completely honest, she wanted them all. Ia mau bermain di dalam film horor baru yang digarap oleh Joko Anwar, ia mau menjadi seorang perempuan populer di film thriller yang akan memberikannya range, ia mau membintangi sebuah film bertema kekeluargaan yang akan melambungkan namanya.
Ia mau semuanya karena ini pertama kalinya ia merasa diinginkan. Ini pertama kalinya ia berbicara, dan semua orang mendengarkan.
Saat ia berumur 18 tahun, ia membintangi film roman remaja yang diangkat dari sebuah buku ternama. Lawan mainnya adalah Keiran Reizano, seorang laki-laki dengan lesung pipit yang manis dan bakat akting yang tidak dapat ditemukan dimana-mana lagi. Ia berumur 20 tahun pada saat itu dan ketika sang sutradara meneriakkan, “Cut!” di akhir adegan terakhir mereka, laki-laki itu mengajaknya keluar untuk berkencan.
Aska mengiyakan.
Keiran selalu tahu kalimat-kalimat yang harus diucapkan, selalu tahu tempat-tempat seru yang harus dikunjungi, memperkenalkan Aska ke teman-teman sesama artisnya. Parading her around like a trophy because apparently… she is. Setelah film mereka berdua masuk ke bioskop dan resepsi dari kritik mulai masuk, Keiran berhenti mengangkat telfon atau menjawab pesan-pesan singkat darinya. Beberapa minggu setelah itu Aska mendapat kabar bahwa laki-laki itu sedang berada di sebuah klub ternama di Kemang, di pelukannya ada aktris lain.
It’d be a lie if she said she didn’t care but it’d also be a lie if she said it broke her. Karena pada saat itu, ia tersadar, yang ia inginkan hanyalah perhatian dari orang lain — tidak peduli siapa.
Jadi ia melemparkan dirinya kembali ke dalam pekerjaan. Membintangi 3 film dalam 1 tahun sekaligus, menerima tawaran-tawaran menjadi brand ambassador dari merek-merek terkenal, namanya semakin melambung, ia semakin diinginkan. Dan mungkin itu yang selama ini ia cari — bukan popularitas, bukan halaman sendiri di IMDB, apalagi kekayaan. Mungkin yang selama ini ia cari dan kejar adalah itu, diinginkan.
Aska memenangkan Piala Citra pertamanya saat ia berumur 20 tahun, ketika ia memainkan seorang ibu muda yang ditinggal suaminya. Ia memenangkan piala keduanya saat ia berumur 22 tahun dan yang ketiga saat berumur 23.
Tapi ia memenangkan piala terbesar di hidupnya ketika ia membintangi film roman untuk kesekian kalinya dan bertemu Radifhan Evander.
She was 20 with the most prestigious award in film already sitting on her shelf back home, what should she be aiming for next? Ia merasa sedikit tersesat, linglung — ia sudah mendapatkan semuanya, nama yang sudah tidak asing lagi, tawaran yang datang secara bertubi-tubi, pengakuan dari industri yang ia cintai. What more does she need? What is the actual limit?
Ia menerima tawaran film garapan Marlene Jayadi berjudul ‘A Love Like This’ tentang dua orang yang bertemu di pesawat yang menemani satu sama lain ketika penerbangan mereka berikutnya dibatalkan selama lebih dari 48 jam. Tadinya ia sudah tidak ingin menerima tawaran tersebut, tidak ingin terus-terusan menjadi aktris roman, tapi karena ia tidak memiliki pilihan lain, ia akhirnya mengiyakan.
Aska bertemu Radifhan di rapat pertama untuk film tersebut — karena band miliknya mengisi soundtrack untuk mereka — dan Aska tahu ada sesuatu tentang laki-laki itu yang menariknya. Radifhan had his own magnetic pole and she’s lucky enough to be the opposite end.
Tidak ada orang yang tidak tahu Radifhan Evander — anak tunggal dari Kit dan Elina Evander — dan Aska, despite growing up amongst people like Radifhan, tidak kebal terhadap pesonanya. Satu hal yang membedakan Radifhan dari anak band yang mendapatkan karir dengan bantuan dari ketenaran orang-tuanya (baca: nepotisme): ia sadar akan privilege tersebut dan ia tidak berpura-pura tidak mengetahuinya.
Radifhan mengeluarkan single yang menceritakan tentang pertemuan pertama mereka 3 bulan setelah mereka bertemu, ia mengirimkan bunga ke kantor Aska setiap hari, memberikan kode-kode tipis di acara on-air yang ia bintangi. He doesn’t talk much — he writes and he sings and he plays and he’s damn good at it.
Pada kencan ketiga mereka, Aska bertanya, “Kenapa gue? Why me out of all the women that I know throw themselves at you?”
Laki-laki itu terkekeh, menarik rokoknya selama beberapa detik dan menjawab, “Because after I met you, I went home and couldn’t stop thinking about you. Like I realized all these songs that I’ve written, I’ve subconsciously written for you.”
Radifhan Evander memberikan Aska apa yang perempuan itu inginkan: to feel wanted.
Mereka tidak pernah benar-benar mempublikasikan hubungan mereka berdua, toh, Aska tahu untuk tidak langsung mempercayai anak band. Tapi mereka datang ke pemutaran perdana ‘A Love Like This’ berdua dan mereka pose untuk foto bersama, tangan Radifhan beristirahat di pinggulnya semalaman. Mereka tidak pernah benar-benar mengkonfirmasi hubungan mereka, namun voicemail Aska ada di lagu band Radifhan — The Jakarta Spacemen — dan laki-laki itu selalu berinisiatif untuk menemaninya ketika ia sedang syuting. Mereka tidak pernah explicitly mengatakan kalau mereka bersama namun Aska selalu ada di belakang panggung ketika mereka sedang konser.
They never said they were together but Aska always replied to Radifhan’s profession with an, “I love you too.”
She never thought that she’d actually love someone that way. She never thought she’d get the attention of a guy like him.
Rasanya seperti mereka tumbuh bersama-sama. Pada saat ia memenangkan Piala Citra keduanya — untuk sebuah film yang mengharuskannya untuk terbang ke Jepang — Radifhan ada di Los Angeles untuk pentas di Coachella, salah satu festival terbesar di dunia. Mereka mencapai ketinggian baru bersama, karier mereka melejit bersama, hubungan mereka menjadi hal termudah di dunia.
Until it became the hardest thing in the world.
Here’s the thing about dating someone as famous — or more famous — than you: you’ll have to share the spotlight.
Aska sedang makan bersama Dinda Cantika — kekasih Athalla Samasta, drummer dari band Radifhan — suatu malam ketika ada seorang penggemar yang mengenalinya ketika ia sedang mencuci tangannya di kamar mandi. Remaja itu bertanya tentang Radifhan, bukan tentangnya, and that’s the first time she ever felt it.
That’s the first time she ever realized it, the attention’s not solely on her anymore. It’s on them.
Setelah itu ia mulai memperhatikan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepadanya tidak semena-mena tentang dirinya seorang. Mereka mulai menanyakan tentang hubungannya, tentang kedekatannya dengan keluarga Radifhan, tentang rasanya berada di dalam hubungan dengan seorang anggota di dalam salah satu band paling terkenal di Indonesia. The attention’s less towards her, more towards her involvement with an Evander.
Ia tidak pernah merasakan itu sebelumnya, harus membagi lampu sorotnya dengan orang lain tapi ia sadar, itu sebuah risiko yang memang harus ia hadapi. Jadi ia selalu memberikan senyuman terbaiknya, selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mulai repetitif itu dengan semangat, menjadi seorang pacar yang suportif.
She didn’t know when the breaking point for her was. Mungkin saat lawan mainnya bertanya tentang Radifhan sebelum ia bertanya tentang dirinya, mungkin saat kru film mendatangi Radifhan untuk meminta tanda-tangannya setiap ia berkunjung ke lokasi, mungkin saat ia mendapatkan peran di film Hollywood pertamanya dan pertanyaan pertama yang dilontarkan oleh seorang wartawan adalah jika Radifhan mendukungnya — sama sekali tidak ada hubungannya tentang dirinya.
Ia mulai sadar, ia diinginkan bukan karena ia Askami Drenka, bukan karena talentanya, bukan karena semua filmnya selalu berhasil mencetak sejarah. Ia diinginkan karena ia tunangan Radifhan. Ia diinginkan karena cepat atau lambat, ia akan menjadi seorang Evander.
Aska sedang berdiri di dalam kamar hotel di Los Angeles, menatap lampu-lampu yang menyinari kota itu, memainkan cincin perak dengan berlian 3 karat yang ada di jari cincinnya ketika ia mengambil telefon genggamnya dari nakas dan menekan nama Han di kontaknya.
Di Jakarta masih jam 7 pagi, namun Radifhan mengangkat pada deringan kedua, Aska dapat mendengar dengan samar suara teman-temannya yang sedang mempersiapkan alat musik. Ia sedang bersiap-siap untuk latihan. “Halo, are you okay?”
Cincin itu terasa berat di jarinya, terasa mencekik, like it’s cutting off the blood circulation all throughout her body.
“I think, I think… I don’t want it.”
Radifhan terdiam sebentar, “The part? Kenapa? Isn’t this your dream? To get a start at a Hollywood movie?”
She wanted to call it off, the wedding, the relationship; and Radifhan thought she didn’t want to chase her dreams. “Bukan itu.”
“Terus apa?” Suaranya masih tegar, masih kuat.
Ia tidak tahu ia mendapatkan keberanian itu dari mana, ia masih menyayangi Radifhan, ia rasa ia rela membuang semuanya — her fame, her career, her livelihood — jika laki-laki itu meminta. Tapi tidak sekarang, tidak ketika karirnya masih ke atas, tidak ketika ia masih ingin mengejar semua hal-hal yang ia rasa tidak akan penting beberapa tahun ke depan ketika namanya sudah mulai meredup dan ia akan di-typecast menjadi seorang ibu ataupun tante dari aktris baru yang masih cantik dan fresh.
But she still has it — her fame, the momentum — and she doesn’t want to share, not right now.
“I don’t think I want to be a wife right now.”
Ujung telepon yang satunya menjadi sunyi, Han sedang berpikir. Beberapa detik kemudian, ia menjawab, “Aku ke sana.”
“Kemana?”
“LA. Aku ke LA.”
Aska menaikkan alisnya, “Kamu bentar lagi tur, Dif, engga bisa.”
“Bisa.”
“Dif — ”
“Fuck the tour, Aska, I’m not losing you. Fuck it all. It doesn’t mean jack shit if I don’t have you.”
Aska has had numerous moments of realization throughout her life — she likes being the center of attention, she likes being wanted. But maybe in the end, above all else, she likes being fought for.
Tapi kali ini, Radifhan bertarung untuk kalah. Kali ini, hanya kali ini saja, ia tidak ingin diperjuangkan.
Meskipun laki-laki itu adalah penghargaan terbesar di hidupnya, ia rela kehilangannya jika artinya semua orang akan memperhatikan dirinya lagi. Hanya dirinya.
She’s done it all without his help, she’s built her own name for herself. She’s not letting herself be an extension of someone else.
Aska’s not Radifhan’s other half, not what the Evanders have been searching for to make the influential family whole again. She’s not a half of one whole, she’s already whole.
And not anyone — not even Radifhan Evander — can take that away from her.
Disclaimer: All the events and characters depicted here are fictional. Please do not relate the characters to their muses. I do not condone my stories being uploaded into other platforms or taken out of context. Do not quote retweet, tweet or talk about my characters in posts about their muses. Everything that happens in this account stays in this account.