Jangan pernah pacaran sama orang yang belum selesai sama masa lalunya — or at least has made peace with it. Pokoknya jangan. That was one of the most given advice for men over 25 who — mostly — have to pick up the pieces from women (or men) who had just gotten out of a serious relationship. Engga sekali dua kali gue diajak ke ‘intervention’ yang emang diperuntukkan temen-temen gue yang terjebak di dalem hubungan sama orang yang belum selesai sama masa lalunya. Akhir-akhirannya akan selalu (95%) makan hati.
Dan gue engga pernah lupa dengan advice itu karena gue udah terbiasa ngeliat temen kantor ataupun temen ngajar gue yang lain, sakit hati karena ternyata pacar mereka belum bisa move on dari mantannya. Hubungan yang biasanya dimulai di umur 18–21 dan tiba-tiba berhenti di tengah jalan di umur 25–26 bakal bikin trauma yang mendalam untuk para unfortunate souls yang mengalaminya — plus kalo ternyata mereka nyoba lagi sama orang berbeda padahal belum bisa lupain mantan, kalo kata keponakan gue yang ABG: red flag.
As a 27-year-old single man in Jakarta — I completely understood that rule. Gue selalu jaga jarak dengan perempuan-perempuan yang menurut gue emang belum siap memulai kembali, gue selalu mencoba mengerti, I offer them a shoulder to lean on so that they know I’ll be there for them even without being in a relationship with me. Gue selalu berusaha untuk mengerti posisi mereka — gue selalu ngasih mereka waktu dan gue juga engga pengen tergesa-gesa dalam melepas masa bujang gue.
I enjoy my work, I enjoy my hobbies and I love my three dogs — I wouldn’t want to give up my bachelor life for someone I’m not sure will enjoy the same things as me. Jadi gue, tentunya, take my time. Bukan di dalam artian kalo perempuan engga ada yang worthy buat gue ya, bukan sama sekali. Tapi di dalam artian gue mau punya hubungan sama seseorang yang emang bener-bener siap untuk serius. I am not young anymore.
Tapi sebagai seorang laki-laki Jawa yang diliat sama keluarga besar dan tetangga di kampung sebagai orang yang sukses dan belum beristri, gue masih dimasukkin ke dalam daftar nama orang yang ‘gagal’ dari kampung itu. Setiap pulang buat liburan natal ataupun libur panjang, pertanyaan pertama yang selalu ditanyain ke gue adalah, “Sendiri aja, Keenan?”
They don’t care that I graduated from school at 21 and went on to pursue a Master’s in Singapore, they didn’t care that I was mentored by the best financial consultants in the world, interned in the Big Four, met people at finance private events and were invited to a lot of finance seminars all over the world under the invitation of a ‘VIP’. They don’t care that I (somehow) got a Pilot’s License and was able to travel the world when I was 25, don’t care that I got lucky in my career life.
Kalo gue belum beristri, berarti gue belum sukses. End of story.
Awal-awalnya gue engga terlalu peduli tentang omongan tetangga dan keluarga besar karena gue engga ketemu mereka setiap hari juga, I didn’t care. Tapi ketika omongan-omongan it mulai merembet ke keluarga inti gue dan bikin Ibu dan Bapak gue worried, gue tau mungkin udah saatnya buat gue nyoba menjalin hubungan sama seseorang.
I know they don’t want me to rush but I also know that I don’t want them to get worried over me. Jadi tentunya gue mulai buat lebih… open ke orang-orang dan pas itu keliatannya engga bekerja akhirnya gue lari ke aplikasi kencan online, siapa tau kan ketemu jodoh?
Ternyata setelah main aplikasi-aplikasi itu dan sempet beberapa kali ngajak orang makan malem, belum ada yang klik. Antara mereka masih pengen ngejar sesuatu di luar negeri — S3, travelling, jadi koki — atau ya, itu, mereka belum berdamai sama masa lalu mereka. Sekali lagi, I don’t blame them for it. I know pressure menikah untuk laki-laki dan perempuan sangat berbeda dan gue engga mau membandingkan struggle gue dengan mereka dan kalau mereka masih nyaman dengan kemandirian dan kesendirian mereka di umur mereka yang sepertinya udah mulai dikejar-kejar buat nikah sama keluarga mereka masing-masing, who am I to take it away from them?
Jadi makan malam-makan malam itu selalu diselesaikan dengan membagi billnya menjadi dua (beberapa dari mereka mempersilahkan gue buat bayar tapi lebih banyak yang lebih prefer split bill) dan nganterin mereka ke mobil mahal mereka yang biasanya mereka kasih ke valet and telling them to have a great night. Setelah itu memang akan ada percakapan tentang kencan kedua tapi setiap gue ngomong gue mau serius, mereka selalu ngilang — I don’t blame them for it, I know commitment is scary and I don’t take offense over it.
Dan ternyata engga kerasa udah 6 bulan gue menjalani rutinitas itu. Swipe right, ngajak ketemu di salah satu restoran hits di Jakarta, ngobrol-ngobrol tentang mimpi dan aspirasi, dikasih tau sedikit tentang baggage yang mereka bawa, jadi Instagram boyfriend selama beberapa detik karena diminta fotoin outfit mereka lalu pulang dengan bagasi masing-masing — belum berani buat nunjukkin isinya ke orang satunya.
Setelah 6 bulan nihil hasil dan gue balik ke kampung masih dengan mobil dan kursi penumpang yang kosong, gue (lagi-lagi) dijadiin topik diskusi di meja makan. Dijadiin bahan olokan sama om-om gue yang belum sesukses gue tapi anaknya udah 6, dijadiin bahan candaan sama tante-tante yang lain dan dijadiin research sama sepupu-sepupu gue yang juga bingung kenapa gue belum punya siapa-siapa.
Wrong — I have Mochi, Kite and Red (my 3 dogs) yang selalu setia nemenin gue lari pagi di komplek.
Tapi setelah lauk-lauk udah habis dan jangan (sayuran) udah surut terus ibu-ibu udah mulai balikkin piring suami mereka ke belakang, gue diajak Bapak ngerokok di pawon (teras). Bapak bukan perokok berat — and neither am I – tapi kalo beliau ngajak gue ngerokok, artinya dia mau ngomong serius sama gue. Jadinya gue naro piring gue di belakang dulu dan ngikutin Bapak ke depan, sambil ngambil Dji Sam Soe punya bokap dan Sampoerna Mild punya gue, kita duduk di kursi rotan yang udah rapuh di teras.
Gue ngambil satu tarikan pelan dan dia juga ngikutin gue. Kita duduk in silence selama beberapa menit sebelum beliau akhirnya angkat bicara dan gue naro rokok gue yang baru setengah abis di samping asbak, mau fokus ke bokap dulu pas dia ngomong.
“Nak,” Bokap mulai, “Bapak iku ndak pernah mekso kowe untuk menikah. Bapak mikire, cah lanangku seng penting iku isoh urip neng Jakarta, seng penting de’e bahagia, seng penting de’e sehat. Nek tanpa bojo de’e uwis merasa utuh, ora perlu de’e nggolek bojo nggo bantu de’e. (Bapak itu ngga pernah maksa kamu untuk menikah. Bapak mikirnya, anak cowoku yang penting bisa hidup di Jakarta, yang penting dia bahagia, yang penting dia sehat. Kalau tanpa istri dia udah merasa utuh, ngga perlu dia nyari istri untuk membantu dia.”
Gue — yang sejujurnya udah tau arah pembicaraan itu bakal kemana — cuman ngangguk kecil, “Nggih, Pak, Keenan ngertos. (Iya, Pak, Keenan mengerti.”
“Neng, enek neng-e, yo, Mas, (Tapi, ada tapinya ya, Mas,)” Beliau narik rokoknya lagi dan gue ngeliat jari-jari dia mulai gemetaran, karena umur dan sepertinya setitik kegugupan, “Nek nduwe pendamping urip, uripmu mengko irup. Menawi, iki menawi yo, Mas, menawi kowe sumpek karo urip-mu, menawi ora ono motivasi, menawi bosen karo gaweanmu, nek kowe nduwe pasangan urip, mengko kowe ora ngeroso sendirian. (Kalo punya pendaming hidup, hidupmu nanti berwarna. Kalo kamu sumpek sama hidup kamu, engga punya motivasi, bosen sama kerjaan, kalo punya pasangan hidup, nanti kamu engga merasa sendirian.”
Sekali lagi gue cuman mengangguk. Pengen bilang ke beliau gue udah berusaha, pengen bilang ke beliau kalo salah satu mimpi gue yang emang belum tercapai sampai sekarang adalah sungkem ke beliau pas hari pernikahan gue. Tapi sekarang cari jodoh rasanya engga semudah dulu pas dia ketemu sama Ibu — love at first sight, they always say. Sekarang banyak skeptisme, banyak batu loncatan yang harus dilewati sebelum nyampe ke tahap serius, sekarang nikah sulit karena pilihan makin banyak.
And I’ve never blamed the world for the challenges that I’d have to face before I find ‘the one’ — tapi memangnya engga bisa dipermudah sedikit, ya?
Gue narik rokok gue sekali lagi, kali ini nelen asapnya dan ngeluarin dari hidung — ngebiarin mulut, tenggorokkan dan hidung gue diselimuti dengan asap rokok yang pahit. Karena sepahit apapun rasanya engga akan sepahit dikasih advice sama bokap lo tentang pernikahan, kayaknya kalo dia frontal langsung nyuruh gue nikah, gue engga akan sesakit hati ini.
Tapi karena dia ngomongnya pelan-pelan, took my feelings into consideration, took my situation into consideration as well. It felt bitter. As fuck.
Jadi pas gue ngeliat asap rokok gue ngepul dan nari-nari di depan muka gue, pelan-pelan lari ke bohlam berwarna oranye yang nerangin teras rumah kedua orang-tua gue malem itu, gue cuman bisa ngeluarin satu kata yang gue rasa cukup untuk dijadikan jawaban atas wejangan yang dikasih bokap gue, “Nggih, Pak.”